Waspadai Gangguan Mental yang Rentan Dialami Anak Muda

Kesehatan306 Dilihat

VOXSULUT – Waspadai Gangguan Mental: Kesehatan mental anak muda, terutama generasi milenial dan Gen Z, semakin mendapat sorotan. Banyak dari mereka mengalami gangguan seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perhatian. Meski begitu, sebagian besar masih enggan mencari bantuan profesional.

“Baca Juga: Wabah Campak Meluas di Medan, Ini Penyebab dan Gejalanya“

Satu dari Tiga Remaja Alami Gangguan Mental

Survei I-NAMHS mencatat sekitar 15,5 juta remaja Indonesia usia 11–17 tahun mengalami gangguan mental pada 2021–2022. Jenis gangguan paling umum meliputi kecemasan, hiperaktivitas, gangguan fokus, dan depresi.

Meski jumlahnya besar, hanya sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan pengobatan formal. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 10,4 persen dari mereka yang menjalani perawatan secara medis.

Agar kamu tidak ketinggalan informasi terbaru ulasan, rekomendasi, dan seputar dunia hiburan, Games, teknologi dan kesehatan baik lokal, nasional, maupun internasional, kamu bisa join di Channel WA VoxSulut.com dengan KLIK DI SINI.

Mengapa Kaum Muda Enggan ke Psikolog?

Minimnya Literasi Kesehatan Mental

Banyak remaja belum memahami pentingnya bantuan profesional. Mereka cenderung lebih percaya diri menyelesaikan masalah sendiri atau hanya berbagi dengan teman dan keluarga.

Media sosial juga memperparah kondisi ini. Penelitian di Qualitative Health Research menemukan bahwa remaja sering melakukan diagnosis mandiri berdasarkan konten media sosial. Ini membuat mereka semakin enggan mencari bantuan ke psikolog.

Malu dan Takut Karena Stereotipe

Stigma terhadap gangguan mental masih tinggi. Sebagian remaja merasa malu karena takut dianggap lemah, berbeda, atau tak mampu mengendalikan diri.

Ketakutan terhadap penilaian negatif ini menjadi penghalang besar. Banyak remaja akhirnya menunda atau bahkan membatalkan niat mencari bantuan.

Sulitnya Akses ke Layanan Kesehatan Mental

Layanan kesehatan mental belum merata di seluruh Indonesia. Di banyak daerah, tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater masih sangat terbatas. Lokasi layanan yang jauh, biaya mahal, dan waktu tunggu panjang juga menjadi kendala besar.

Banyak remaja tidak tahu ke mana harus pergi saat membutuhkan bantuan. Minimnya informasi membuat mereka enggan melangkah lebih jauh.

Respons Negatif dari Tenaga Kesehatan

Sikap tenaga kesehatan juga sering menjadi penghambat. Penelitian terhadap 90 remaja di berbagai daerah menunjukkan bahwa banyak dari mereka mendapat perlakuan yang tidak mendukung.

Salah satu responden bahkan mengaku dianggap “gila” saat meminta surat rujukan ke rumah sakit. Responden lain mengatakan harus menunjukkan bekas luka di tubuh sebelum mendapat layanan yang layak.

Tanggapan semacam itu bisa memperburuk kondisi mental dan memicu keinginan menyakiti diri sendiri.

Terapi Mahal Jika Tanpa BPJS

Bagi remaja yang tidak memiliki BPJS Kesehatan, biaya terapi sangat membebani. Konsultasi psikolog di rumah sakit pemerintah bisa mencapai Rp500 ribu per sesi. Di klinik atau rumah sakit swasta, tarifnya bisa lebih mahal.

Karena itu, BPJS sangat penting sebagai jaminan agar kaum muda bisa mendapatkan terapi secara gratis.

Faktor Risiko Gangguan Mental pada Kaum Muda

Masa remaja adalah periode transisi besar dalam kehidupan. Kaum muda menghadapi perubahan fisik, emosi, dan tekanan sosial yang signifikan.

Faktor-faktor seperti paparan media sosial, perundungan, kekerasan seksual, gaya pengasuhan yang keras, dan tekanan ekonomi memperparah kondisi mereka. Semua ini bisa menyebabkan stres berat yang memicu gangguan mental.

Dampak Serius Jika Gangguan Mental Diabaikan

Gangguan mental bukan hanya masalah pribadi. Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa memengaruhi kualitas hidup secara menyeluruh.

Remaja yang mengalami gangguan mental bisa kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan membangun masa depan. Bahkan, mereka berisiko mengalami kecanduan, seks tidak aman, atau penyalahgunaan obat.

Kajian dalam jurnal Clinical Practice & Epidemiology in Mental Health menyebutkan bahwa gangguan mental dapat menurunkan pencapaian akademik dan karier di masa depan.

Peran Literasi Mental dalam Mencegah dan Menangani Masalah

Peningkatan literasi kesehatan mental menjadi langkah awal yang sangat penting. Remaja harus tahu gejala awal gangguan mental dan bagaimana cara mencari bantuan.

Keluarga dan sekolah harus menjadi pendukung utama. Mereka perlu menciptakan lingkungan yang terbuka, ramah, dan tidak menghakimi.

Literasi mental bisa diperoleh dari buku, pelatihan, seminar, jurnal ilmiah, dan sumber terpercaya lainnya. Dengan bekal ini, remaja akan lebih percaya diri untuk mencari pertolongan.

Penelitian menunjukkan bahwa literasi mental bisa mengubah sikap remaja terhadap terapi dan meningkatkan keinginan untuk sembuh.

Gunakan Teknologi untuk Deteksi Dini

Deteksi dini bisa dilakukan secara digital. Aplikasi SatuSehat Mobile milik Kementerian Kesehatan menyediakan fitur skrining gratis untuk gejala gangguan mental.

Jika kamu merasakan kesedihan mendalam, cemas berlebihan, atau kehilangan minat, segera gunakan fitur ini. Hasilnya akan mengarahkanmu ke bantuan profesional.

Semakin cepat kamu mendapatkan penanganan, semakin besar pula kemungkinan untuk pulih sepenuhnya.

“Baca Juga: PSG vs Bayern Rapor Pemain: Donnarumma, Doue Bersinar“


Kesimpulan
Gangguan mental di kalangan milenial dan Gen Z adalah isu serius yang tidak boleh diabaikan. Meski tantangan datang dari stigma, akses, dan biaya, solusi tetap ada. Dengan literasi yang kuat, dukungan keluarga, dan layanan digital yang mudah diakses, kita bisa menciptakan generasi muda yang sehat secara mental dan emosional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *